Rabu, 31 Desember 2008

surat ata[s.gegge.mappangewa]

surat ata
Kak, papa sakit selama dua bulan.Tapi papa dan mama tak mau membebani pikiran Kak Dilan, takut konsentrasi belajarmu terganggu, hingga Kak Dilan tak dikabari.

Dilan dengan langkah tergesa memasuki kamar kosnya. Di samping untuk menghindar dari teman kosnya, karena ada sesuatu yang harus dilakukannya tanpa boleh diketahui oleh orang lain, juga karena sesuatu yang harus dilakukannya itu, memburu untuk segera ditunaikan. Dilan sampai bolos kuliah, dan ini bukan untuk yang pertama kalinya. Dan juga, untuk yang kesekian kalinya, dia harus mengorbankan barang-barangnya yang berharga demi hobi barunya itu. Ponsel yang minggu lalu tergadai, kini ditebus lalu dijualnya. Jam tangan, bahkan jaket kesayangannya telah berpindah tangan, hanya demi beberapa gram barang yang kini di tangannya.
Aman! Ungkap batinnya ketika berhasil menyelinap masuk kamar tanpa sepengetahuan teman kosnya yang lain. Benda yang mirip serpihan-serpihan kecil batu tawas itu, cepat dikeluarkannya dari saku jaket. Dicium sepuasnya sambil tersenyum.
“Akhirnya aku bisa nyabu lagi hari ini!” bisik hatinya lagi. Masih bersandar di pintu kamar.
Ketika kakinya hendak melangkah untuk mengambil alat penghisap yang disembunyikannya di laci meja belajar, tiba-tiba kaki telanjangnya merasa menginjak sesuatu yang aneh. Dia menunduk. Sebuah surat dengan amplop berwarna biru langit, yang diselipkan temannya di bawah pintu, diinjaknya dan baru kini dia sadari.
Dia menggeleng, bahkan menganggap temannya salah alamat saat menyelipkan surat itu. Mungkin saja surat Galang, Farhat atau siapa saja, yang jelas dia tak pernah bersurat-suratan dengan siapa pun. Demi memastikan, dia meraih surat itu dan dadanya berdebar kencang. Debarannya lebih dahsyat dibanding saat dia sakaw. Dia mengucek mata, berharap dia salah lihat, tapi nama yang tertulis sebagai pengirim surat itu memang Ata, adiknya yang bungsu.
Entah mana yang harus dikerjakannya lebih dulu, membaca surat Ata atau menghisap shabu-shabu yang baru saja dibelinya. Dua-duanya dibiarkan menggantung. Dia lebih memilih berbaring di tempat tidur, lalu menatap lekat ke langit-langit. Langit-langit itu akhirnya menjadi layar lamunannya.
Apa yang terjadi di kampung, hingga Ata mengirim surat? Keluarga di kampung pasti sering menghubungi lewat HP, tapi tak pernah aktif karena tergadai lalu terjual demi membeli shabu-shabu. Pikirnya! Belum lagi dia tak pernah menelpon dan setiap ada telepon dari kampung, dia pasti keluar keluyuran, kalaupun ada di rumah, dia tak mau bicara karena takut diinterogasi sama papa tentang kuliahnya yang lebih banyak bolosnya.
Padahal ini baru semester satu. Dilan mengawali kariernya, sebagai mahasiswa baru yang datang jauh dari Ambon menuju Makassar, dengan buruk. Dia tak pernah berpikir jika dia adalah duta orang tuanya. Makassar yang diharapkannya menjadi kota pengabul impian dan cita-citanya, ternyata telah memberinya mimpi dan citra buruk.

Kak Dilan yang jauh…

Sebaris kalimat pembuka itu terhenti. Dia membayangkan Ata, adiknya, saat menulis surat itu, sedang tersenyum dan duduk manis di atas meja belajarnya yang baru dibelikan papanya, saat kenaikan kelas kemarin. Papanya memang sangat pengasih terhadap anak-anaknya. Dilan yang bisa ke Makassar kuliah itu pun, sebagai bukti kasih sayang mama dan papanya. Sayang, kasih sayang itu terhianati.
Ata yakin, Kak Dilan kaget dengan suratku. Pasti tak pernah terbayang sebelumnya jika Ata akan mengirim surat. Sejak Kak Dilan berangkat ke Makassar, banyak sekali yang berubah.

Kak, papa sakit selama dua bulan. Tapi papa dan mama tak mau membebani pikiran Kak Dilan, takut konsentrasi belajarmu terganggu, hingga Kak Dilan tak dikabari. Syukurlah, sekarang sudah sembuh.

Dilan seolah terpukul dengan kalimat surat itu. Dua bulan papanya sakit, tak dikabari agar tidak menganggu konsentrasi belajarnya, padahal selama ini dia tak pernah belajar. Makassar yang jauh gemerlap dari Ambon, digunakan Dilan untuk mengenali setiap jengkal Makassar dengan dugem. Padahal tugasnya bukan itu!.

“Masa bodo!” Pikirnya sambil mencari alat penghisap shabu di laci meja belajarnya. Saat benda yang dicarinya itu telah ditemukan, bukannya langsung mengambil korek untuk kemudian nyabu, tapi malah mematung. Semua karena alat penghisap shabu itu didapatkannya tergeletak di atas foto Ata.
Dilan memang sangat sayang pada Ata, adik satu-satunya. Foto yang kini ditatapnya, pemberian Ata saat hendak berangkat ke Makassar untuk kuliah.
“Jangan lupakan Ata ya, Kak! Kalaupun Ata sering gangguin Kak Dilan, sering malas kalo disuruh, bukan berarti Ata nggak sayang sama Kak Dilan!”
Dilan hanya mengangguk saat itu. Dia kasihan melihat adiknya merengek untuk tetap dirindukan. Selain foto, Ata juga memberinya bagea, kue khas Ambon, yang terbuat dari sagu.
“Bagea ini aku yang bikin lho, Kak!”
Dari sinar matanya saat mengucap kalimaat itu, Dilan tahu kalau Ata membohonginya. Tapi dia tak ingin mengecewakan Ata dengan mengungkap kebohongan itu. Apalagi setahu Dilan, meskipun Ata sudah SLTP kelas satu, mamanya belum membebankan Ata untuk pekerjaan-pekerjaan berat, seperti membuat kue.
Mama dan papanya memang selalu mengedepankan prestasi. Mereka hanya membebankan belajar sebagai tugas utama kepada anak-anaknya. Dilan yang sulung pun jarang membantu papanya di gudang hasil bumi, meskipun itu untuk urusan manajemen ataupun kalkulasi barang yang masuk. Tugas paling berat yang diterima Dilan saat membantu papanya di gudang hanyalah membayarkan gaji karyawan dan buruh.
Dilan sangat beruntung terlahir sebagai anak pengusaha hasil bumi. Hampir seluruh hasil bumi, mulai dari cengkeh, Vanili, kakao, hingga aneka rempah lainnya, dibeli papanya dari petani untuk kemudian diekspor. Jadi, sangatlah wajar jika Dilan bisa menggunakan uang semaunya. Kalaupun HP dan barang-barang berharga lainnya terjual, itu karena Dilan menyalahgunakan uangnya.
Baru sebulan di Makassar dia sudah minta dinaikkan uang kiriman bulanannya, dan papanya tidak berpikir dua kali untuk mengiyakan. Tapi sekali pun Dilan tak pernah berpikir, jika menyalahgunakan uang kirimannya, sama halnya mengkhianati papanya.
Sesal kini menderanya. Perhatiannya kini beralih lagi ke surat Ata yang tadi tak selesai dibaca, lalu dihempaskannya begitu saja.
Kak Dilan percaya kan, bahwa selalu ada kemudahan di balik kesusahan? Ya, sekarang mama dan papa sedang dalam masa sulit. Kalaupun uang kiriman Kak Dilan bertambah, itu karena mama dan papa peras keringat untuk tetap memenuhi kebutuhan Kak Dilan. Dua bulan papa sakit, karyawan yang paling dipercaya papa untuk mengurus usaha, hilang membawa kabur uang. Buruh mogok kerja, karena gajinya ditunda-tunda. Bahkan gudang penyimpanan hasil bumi papa dibakar saat para buruh dan karyawan tersulut emosi.

Tangan Dilan bergetar, dua lembar kertas surat Ata seolah begitu berat hingga terjatuh dari tangannya. Dia ingin teriak sekerasnya, tapi tenaganya yang keluar tersalur di tangannya yang terkepal dan mendaratkannya di tembok kamar.
Bukkk! Bukan hanya sekali, berkali-kali tinjunya mendarat di tembok kamar. Tak perduli kulit arinya terkelupas, hingga berdarah. Seolah dia ingin mati saja! Tapi bukannya bertambah sadar, saat tatapannya tertumpu pada shabu-shabu yang baru dibelinya tadi, dia melepaskan kekesalannya dengan nyabu. Hanya sekali menghirup asapnya, dia kembali meraih surat Ata.

Papa tak punya modal lagi. Dia beralih profesi sebagai nelayan. Berangkat melaut sore hari, pulang saat pagi. Tubuh papa yang dulu kekar, perlahan terkikis angin laut yang dingin. Kak Dilan bisa bayangkan, bagaimana dinginnya laut di tengah malam.
Mama tak hanya mengurus dapur. Dia juga harus menjual ikan tangkapan papa di pasar. Terkadang siang baru pulang dari pasar. Kak Dilan bisa bayangkan bagaimana capeknya mama. Malam dia harus begadang lagi, membuat kue dari singkong, untuk kujajakan di sekolah besoknya.
Aku tak peduli, teman-teman mengejekku sebagai penjual kue. Asal bisa menambah uang mama, untuk kemudian dikirimkan ke Kak Dilan. Untunglah tahun ini, Ata dapat beasiswa, sehingga mama nggak berpikir lagi tentang uang sekolahku. Kakak nggak malu kan punya papa nelayan, mama penjual ikan, dan aku penjual kue? Asal Kak Dilan bisa kuliah! Begitu kata mama dan papa.
Jangan kecewakan kami ya, Kak!

Dilan menangis kini. Alat penghisap shabu-shabu yang terbuat dari kaca, dihempaskannya ke lantai kamar hingga berserakan. Dia benci pada dirinya sendiri yang menyalahgunakan kebebasan yang diberikan oleh papanya. Dia ingat sekali, saat hendak ke Makassar, papanya memperingatkan dia untuk menjaga diri. “Di Makassar, nggak ada lagi mama dan papa yang perhatikan kamu. Kamu bebas! Tapi bukan berarti kamu bertindak semaumu. Uang, berapa pun akan habis, papa memberimu ijin kuliah di Makassar bukan karena uang yang papa miliki, tapi karena papa percaya kamu bisa jaga diri. Tanpa mama dan papa bukan berarti kamu mendapat kebebasan, tapi tanggung jawab!”
Sadar diri dia bisa gila bahkan terbunuh sesal bila tak meminta maaf pada mama dan papanya, dia memutuskan untuk pulang ke Ambon. Dia tak perduli kuliahnya sebentar lagi final test. Dia hanya peduli pada kerinduan yang tiba-tiba menyerangnya.
***
Matahari pagi tersenyum menerima kehadiran Dilan kembali di tanah kelahirannya. Dia tak memutuskan untuk langsung pulang ke rumah, tapi ke tempat pelelangan ikan untuk menemui papanya yang baru pulang melaut. Seperti apapun papanya, dia tak akan pernah malu memilikinya. Bahkan semakin bangga karena telah berjuang untuk masa depannya.
Tapi di pelelangan ikan, papanya tak ada di antara sosok-sosok nelayan yang pulang melaut. Mungkin sudah pulang ke rumah. Pikirnya. Dia lalu melarikan langkahnya ke pasar untuk mencari mamanya yang sedang menjual ikan. Juga tak ada!
Berbagai pikiran membawanya ke prasangka buruk. Dia takut papanya sakit lagi, hingga tak bisa melaut. Dengan langkah setengah berlari, dia meninggalkan pasar. Beberapa orang yang memanggilnya, tak dihiraukan. Rindu pada mama dan papanya, juga pada Ata semakin tak terbendung.
Tiba di rumah, entah harus tetap meruahkan tangis yang dari tadi dibendungnya, atau malah memarahi Ata yang kini merengek di lengannya. Tak ada yang berubah sejak dia meninggalkan Ambon. Gudang hasil bumi milik papanya, yang kebetulan bersebelahan dengan rumah tinggalnya, masih berjalan lancar bahkan semakin pesat. Terbukti dengan bertambahnya mobil truk dua belas roda parkir di halaman.
“Ata rindu sekali, Kak. Ata nggak tahu bagaimana caranya memanggil Kak Dilan pulang, jadi Ata kirim surat bohongan itu!”. Dilan masih termenung. Senyum mama dan papanya yang menyambut kedatangannya, enggan dibalasnya. Dia merasa berdosa dan tak pantas menerima senyum itu. Saat papanya melabuhkan tubuhnya dalam pelukan pun, Dilan masih mematung. Apa yang ditulis Dilan dalam suratnya memang bohongan, tapi bukan tak mungkin kenyataan yang lebih buruk dari itu, bisa saja menimpanya. Dia tak ingin sesal itu mempermainkannya dua kali. Dia berjanji untuk dirinya sendiri, tak akan mengulangi lagi kebiasaan buruknya.
“Bawa oleh-oleh apa, Kak?”
Dilan seolah tak mendengar kalimat Ata. Bahkan tasnya yang terlepas dari tangannya karena diambil oleh Ata, tak membuatnya terjaga dari sesal yang kini menderanya. Dia bahagia sekali, masih bisa berkumpul dengan orang-orang yang dicintainya, tanpa perubahan seperti yang diceritakan Ata dalam suratnya.
“Kak, ini apa sih?”
Kali ini dia terjaga. Bukan karena suara Ata yang mengeras, tapi karena pandangan papanya yang menajam ke arah Ata. Saat menoleh, Dilan ikut menancapkan tatapan di plastik kecil yang sedang dipegang Ata. Entah bagaimana caranya, saat bergegas pulang kemarin, sisa shabu-shabu yang tak dihabiskannya, bisa berada dalam tasnya.
Ata merengek untuk tahu nama barang terlarang itu, sementara papanya yang mengenal barang itu, kehilangan senyum. Kecewa tiba-tiba terbias dari tatapannya yang tadi penuh rindu. Lelaki yang dirindukannya itu, berbalik darinya.
“Maafkan Dilan, Pa! Dilan janji nggak akan mengulanginya lagi!”
Papanya bergeming. Bahkan menepis tangan Dilan yang berpegang di lengannya. Ata dan mamanya hanya memandang heran karena belum mengerti kejadian yang sebenarnya.
Besoknya papanya sakit. Tak mau bicara, juga malas makan. Dilan takut, apa yang dituliskan Ata dalam suratnya, akan benar-benar terjadi. Dia semakin menangis!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar