Rabu, 31 Desember 2008

mirza buncis(s.gegge.mappangewa)

Mirza buncis
Sebenarnya Jaya menunggu reaksi keras lagi kasar dari Mirza dengan jawabannya. Tapi ini lain, Mirza membisu. Menatapnya tenang seperti laut tanpa ombak. Akhir dari tatapan itu, dia tersenyum. Senyum yang tak bisa Jaya mengerti.

Hujan pertama akhirnya jatuh pada November, setelah terserang gersang yang hampir saja meretakkan bumi. Bukannya menjadi anugerah buat Yani, tapi sebaliknya, membawa bencana. Dan semua itu karena ulah Mirza, Kawazaki Ninja-nya yang meraung masuk halaman sekolah, melaju seolah di jalanan umum. Genangan air yang kebetulan sejajar dengan posisi langkah Yani, digilas ban dengan sengaja, hingga air keruhnya terpercik ke seragam Yani.
Yani ingin berteriak, mencaci, menyumpahi, bahkan melemparnya dengan batu yang kebetulan tergeletak di dekatnya, tapi Yani merasa itu percuma. Di pihak Mirza, bukannya menghentikan motor lalu minta maaf, malah berbalik dan mengedipkan mata kiri ke arah Yani. Kedipan yang mengejek lagi sinis.
Bukan hanya di mata Yani, hampir semua penghuni sekolah, utamanya cewek, menangkap sosok Mirza sebagai cowok kurang ajar. Mungkin lebih tepat lagi disebut bejat. Penampilannya saja sudah urakan, telinga dan hidung ditindik, rambut dicat pirang, ujung kemeja tak pernah masuk dalam celana, bahkan jarang dikancing, hingga otot-ototnya yang kekar nampak jelas terbalut kaos ketat. Melihat penampilan seperti itu di mal, mungkin wajar-wajar saja, tapi ini di sekolah. Meski statusnya sekolah swasta, ini tempat orang-orang yang ingin dididik.
Namun swasta-nya itulah yang membuat Mirza bisa berbuat seenak perut. Papanya adalah pemilik yayasan sekolah ini, jadi guru pun tak berani “memberinya pelajaran” jika dia benar-benar telah kurang ajar. Mirza pun semakin mengannggap dirinya sebagai “tuhan”.




Mirza punya banyak massa cowok, yang tentu saja teman sesama urakan, hingga di kantin sekolah pun tak sungkan ngomong vulgar, lalu tertawa terbahak-bahak hingga langit-langitnya kelihatan. Pokoknya, semua yang ada pada Mirza, membuat Yani dan cewek lain harus rela menerima sakit hati tanpa bisa membalasnya.
“Cewek-cewek di sekolah ini nggak ada yang selevel denganku. Mereka adalah Ninox sentulata malaccensis. Itu nama Latin untuk pungguk. Elang malam yang suka memandang bulan. Kalau bukan bulan yang jatuh untukmu, jangan harap Mirza jadi milikmu,” ungkapnya sombong saat keputusannya untuk menjomblo dipertanyakan.
Memang sih, Mirza cakep. Dari matanya yang tajam, selintas dia seperti blasteran India. Belum lagi, tahu matanya begitu memukau orang yang melihatnya, terkadang dia menghiasinya dengan celak, hingga bola mata itu semakin manyala. Belum lagi bibirnya yang terukir sempurna, dan merah alaminya melebihi cewek berlipstik. Ya, tak ada yang kurang pada diri Mirza, kecuali kekurangajarannya.
Ada lagi tentang kesempurnaan Mirza, tubuh atletisnya begitu memukau saat terbawa langkah. Melenggang seperti di atas sebuah cat walk, mungkin karena dia merasa selalu jadi bahan perhatian, hingga langkah pun harus sesempurna mungkin. Sosok Mirza jauh lebih sempurna dibanding dengan model ataupun bintang sinetron yang sering membuat ABG screaming.
“Kenapa dengan seragammu?”
Yani, yang menerima pertanyaan Jaya, ingin menyembunyikan kejadian yang sebenarnya, tapi kegugupannya membuat Jaya menuduh Mirza sebagai pelakunya.
“Ini ulah Mirza, kan?”
“Nggak usah diambil hati, Jay!”
“Tapi ini bukan yang pertama kalinya, Yan. Ini pelecehan buatku sebagai pacar kamu.”
“Tapi diladenin malah tambah ruwet. Kamu mau dikeluarin sekolah gara-gara berurusan dengan dia.”
“Kamu nggak ngerti perasaan cowok, Yan. Lalu apa gunanya kamu jadi pacar aku, kalau aku terus-terusan membiarkan orang mempermainkan kamu, nyakitin kamu.”
Jaya sudah berlalu dari hadapan Yani, untuk mencari Mirza dan membuat perhitungan, tapi Yani kembali berhasil mencegatnya. Tanpa sadar, Yani mencengkeram pergelangan Jaya keras.“Kumohon, Jay! Jangan layani emosi kamu. Aku tahu kamu mencintai aku, ingin melindungi aku... tapi mengalah di depan Mirza, jauh lebih kuhargai. Semua orang kenal Mirza. Dia itu kasar, keras hati, kurang ajar, bejat…”
“Dan dia akan terus begitu, jika nggak diberi pelajaran…”
“Melawan orang yang keras hati seperti dia, sama halnya ikut menjadi budak nafsu.”
Jaya terdiam. Bukan karena emosinya telah reda, tapi karena tak tega melihat Yani memelas di depannya. Dia tetap menyimpan dendamnya untuk Mirza. Dendam itu mengepul dalam kawah hatinya, dan suatu saat akan diletuskannya di depan Mirza.
***
Jaya sengaja terlambat masuk kantin. Dia tahu kebiasaan Mirza dan teman geng-nya yang selalu terlambat masuk kelas dengan nongkrong di kantin. Jaya juga melakukan itu, dia tak perduli, bel yang barusan berbunyi menandakan dia harus duduk manis di kelas untuk menerima pelajaran Kimia kesukaannya.
Dia mengambil posisi tepat bersebelahan meja dengan Mirza dan teman geng-nya.
“Bakso tanpa mie, minumnya es teh.” Pesan Jaya tanpa memperdulikan bagaimana reaksi Mirza yang tak jauh darinya.
Sementara Mirza sendiri, tak mampu menahan keheranannya, melihat sikap Jaya hari ini. Dia tahu betul, Jaya paling tak suka masuk kelas terlambat. Sebagai ketua kelas, dia bahkan menyiapkan semua perlengkapan kelas, mulai dari spidol, penghapus, hingga papan tulis yang harus bersih sebelum guru masuk.
Mirza juga sangat kenal, Jaya orangnya bersih dan selalu berpenampilan rapi. Model rambut yang selalu cepak, seolah agar terhindar dari tiupan angin yang bisa saja mengacak-acak rambut. Tapi kali ini, Jaya masuk kantin dengan ujung kemeja yang keluar dari celana, juga dengan dua kancing atas yang dibiarkan menelanjangi dadanya.
Sebenarnya hingga hal-hal terkecil tentang Jaya pun, Mirza tahu semua. Tentang bibir tak tebal Jaya yang selalu mengukir senyum manis untuk semua orang, kecuali untuk Mirza. Juga tentang tutur kata Jaya yang selalu sopan.
Ketika Mirza meneguk teh es-nya, sambil melirik ke arah Mirza, barulah dia terjaga, selama ini dia selalu mengusili Yani, pacar Jaya. Mirza mengatur napas setelah menyadari hal itu, tapi bukan berarti takut. Tubuh atletisnya tak hanya terbentuk di fitness centre, tapi juga di perguruan bela diri karate yang digelutinya. Jadi sangatlah mustahil untuk takut pada Jaya.
Entah apa maksudnya, Mirza malah mengedipkan mata ke arah teman geng-nya yang lain, sebagai isyarat agar mereka meninggalkan kantin. Dan kini tinggallah mereka berdua, pemilik kantin pun sibuk mengurus dapur, setelah kebanjiran pelanggan di jam istirahat barusan.
“Apa maksud kamu mengusili dan mengerjai Yani terus-terusan?” Jaya berucap tanpa mengalihkan tatapan ke arah Mirza di meja sebelah, karena dia yakin Mirza sedang memperhatikannya.
“Atau perlu kuberi tahu dengan caraku sendiri bahwa Yani itu pacarku. Dan sebagai cowoknya, tentu aku sangat merasa tersinggung jika ada yang macam-macam ke dia.”
Kali ini Jaya sudah berbalik untuk mengarahkan tatapan ke arah Mirza, dan Mirza telah melangkah ke mejanya. Di bangku tepat depannya.
Untuk yang pertama kalinya, Jaya tak menangkap sinyal antagonis pada sikap dan tatapan Mirza.
“Aku menganggu Yani, karena kutahu dia pacar kamu. Ini yang aku inginkan, kamu datang padaku, bicara baik-baik dan mengutarakan apa maumu.”
“Mauku? Jangan ganggu Yani lagi!”
“Dengan satu syarat…”
“Yani siapamu hingga kamu memberiku syarat untuk menjaganya?”
Jaya menggeser bakso pesanannya dari hadapannya, yang memang belum pernah disentuhnya. Dia ingin, antara dia dan Mirza, tak ada yang menghalanginya, kecuali terpisah oleh meja persegi yang mereka hadapi.
“Jadi kamu nggak mau mendengar syaratku?”
Jaya terdiam, emosi yang mengendap di kawah hatinya, sudah naik ke ubun-ubun. Sedikit Mirza salah bicara, atau bertingkah salah di depannya, emosi itu akan mengeluarkan lava.
“Aku ingin kamu bergabung denganku…”
“Maksudmu, menjadi pengacau sekolah, tukang onar? Mirza, sadar nggak sih? Selain kamu, nggak ada yang bangga atas sikap kasarmu itu. Lagi pula, apa yang kamu cari? Kekurangajaranmu malah membuat orang nggak ada yang mau berteman dengan kamu.”
“Kamu mau apa nggak bergabung denganku?!” kata Mirza lebih keras.
“Nggak!” Jaya lebih keras lagi.
Sebenarnya Jaya menunggu reaksi keras lagi kasar dari Mirza dengan jawabannya. Tapi ini lain, Mirza membisu. Menatapnya tenang seperti laut tanpa ombak. Akhir dari tatapan itu, dia tersenyum. Senyum yang tak bisa Jaya mengerti.
“Kamu orang yang pertama menolak ajakanku untuk berteman.”
“Bukan cuma aku, semua orang di sekolah ini sesungguhnya akan menjadi teman kamu jika kamu nggak kurang ajar seperti yang selama ini kamu sikapkan.”
Menurut Jaya, kalimat yang baru saja diucapkannya sangatlah sederhana. Tapi siapa sangka, hati keras Mirza tiba-tiba luluh, mencair. Bahkan, tanpa segan, tanpa takut harga dirinya jatuh, dia meraih tangan Jaya dan menggenggamnya.
“Maafkan aku, aku ingin jadi temanmu!” ucapnya dengan tatapan yang masih saja menguasai seluruh wajah Jaya.
Jaya mengangguk. Perlahan dia lepaskan tangannya dari genggaman Mirza. Dia membalas senyum Mirza, lalu melangkah pergi.
“Kita temanan, kan?”
Langkah Jaya terhenti. Tanpa berbalik dia mengangguk. Lagi-lagi langkahnya tak bisa dia lanjutkan saat Mirza meraih pergelangannya dan memasangkan dua kancing baju Jaya yang terlepas. Jaya mengikut, saat Mirza dengan tenangnya, tanpa dosa. merangkul bahu Jaya melangkah keluar kantin.
Semua terperangah, ketika Mirza masuk kelas dengan tangannya yang masih di bahu Jaya. Ini adalah pemandangan terindah, seperti pertemuan siang dan malam, di suatu waktu yang disebut senja. Mirza adalah siang dengan panasnya yang menyengat, dan Jaya adalah malam dengan dinginnya yang menyelimut. Keduanya tiba-tiba saling membutuhkan.
***
Tiba di rumah, Mirza langsung masuk kamar. Melepas giwang di tindikan telinga dan hidungnya. Dia menatap wajahnya di cermin. Dia sangat benci pada matanya, pada bibirnya, pada kulit putih bersihnya.
Praaak! Semua body lotion, lotion pemutih, pembersih wajah anti acne, deodoran, bedak cowok, hingga celak dan pelembab bibir, dihimpunnya dengan kasar lalu dilemparkannya ke cermin yang tengah ditatapnya.
Baju karate dengan sabuk hitamnya, beserta piala-piala penghargannya, hingga barbel dengan segala ukuran, dan semua peralatan fitness, dia lemparkan keluar hingga memecahkan kaca jendela.
Dia benci pada dirinya, sangat benci. Selama ini kesibukannya di tempat fitness, kepiawaiannya di olahraga bela diri, hanyalah untuk menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya. Beralasan menganggap semua cewek pungguk di matanya, padahal hatinya memang tak pernah tersentuh oleh tatapan cewek mana pun. Bergaya ala cowok dengan telinga dan hidung ditindik, sampai bersikap kasar dan kurang ajar, semua agar dia menjadi lelaki yang sesungguhnya. Tapi sungguh, sungguh tak bisa dia mengingkari hatinya yang kagum pada Jaya, telah setara dengan perasaan cinta.
“Mirza banci!” teriak hatinya sekeras mungkin saat dia semakin ingin terus ada di dekat Jaya.
Dia tahu, itu adalah hal yang sangat mustahil bahkan sangat memalukan jika Jaya atau ada orang lain tahu perasaannya. Dia tak ingin cinta seperti itu, tapi itulah yang selalu datang bertamu di hatinya.
Dia menangis sendiri. Sementara Jaya yang dirindukannya tertawa geli, bahkan terbahak-bahak.
“Kurasakan ada yang lain pada Mirza saat dia menggenggam tanganku, menggadeng bahuku,” ceritanya pada Yani.
“Maksudmu?”
“Mirza itu buncis.”
“Buncis?”
“Kamu kenal buncis, kan? Nama latinnya phaseolus vulgaris, sejenis kacang-kacangan, tapi nggak ada orang yang menyebutnya kacang buncis. Beda dengan kacang kedelai, kacang merah, kacang panjang…”
Yani masih mengerutkan kening.
“Mirza itu cowok, tapi nggak pantas disebut cowok. Karena dia banci! Sikap kasarnya, tubuh atletisnya, hingga kebiasaannya bercerita vulgar, hanyalah untuk menipu semua orang buat menunjukkan bahwa dia cowok sejati. Padahal, cowok nggak harus identik dengan semua itu. Cowok juga punya hati, tapi bukan hati yang suka sejenis seperti Mirza.” Jaya terbahak-bahak lagi.
Yani tetap terdiam. Yani bahkan kasihan membayangkan konflik batin yang menyiksa Mirza. Yani tahu, itu bukan inginnya, melainkan sebuah cerita takdir, yang jika dia ingin mengubahnya, masih akan ada kesempatan menemukan happy ending.
Air mata pertama Mirza, akhirnya jatuh pada November. Inilah yang pertama kalinya dia menangisi ketidaksempurnaannya, setelah terserang gersang yang hampir saja meretakkan bumi hatinya, karena selalu dipaksakannya untuk menjadi sosok yang bukan dirinya.
kak, papa sakit selama dua bulan.Tapi papa dan mama tak mau membebani pikiran Kak Dilan, takut konsentrasi belajarmu terganggu, hingga Kak Dilan tak dikabari.

Dilan dengan langkah tergesa memasuki kamar kosnya. Di samping untuk menghindar dari teman kosnya, karena ada sesuatu yang harus dilakukannya tanpa boleh diketahui oleh orang lain, juga karena sesuatu yang harus dilakukannya itu, memburu untuk segera ditunaikan. Dilan sampai bolos kuliah, dan ini bukan untuk yang pertama kalinya. Dan juga, untuk yang kesekian kalinya, dia harus mengorbankan barang-barangnya yang berharga demi hobi barunya itu. Ponsel yang minggu lalu tergadai, kini ditebus lalu dijualnya. Jam tangan, bahkan jaket kesayangannya telah berpindah tangan, hanya demi beberapa gram barang yang kini di tangannya.
Aman! Ungkap batinnya ketika berhasil menyelinap masuk kamar tanpa sepengetahuan teman kosnya yang lain. Benda yang mirip serpihan-serpihan kecil batu tawas itu, cepat dikeluarkannya dari saku jaket. Dicium sepuasnya sambil tersenyum.
“Akhirnya aku bisa nyabu lagi hari ini!” bisik hatinya lagi. Masih bersandar di pintu kamar.
Ketika kakinya hendak melangkah untuk mengambil alat penghisap yang disembunyikannya di laci meja belajar, tiba-tiba kaki telanjangnya merasa menginjak sesuatu yang aneh. Dia menunduk. Sebuah surat dengan amplop berwarna biru langit, yang diselipkan temannya di bawah pintu, diinjaknya dan baru kini dia sadari.
Dia menggeleng, bahkan menganggap temannya salah alamat saat menyelipkan surat itu. Mungkin saja surat Galang, Farhat atau siapa saja, yang jelas dia tak pernah bersurat-suratan dengan siapa pun. Demi memastikan, dia meraih surat itu dan dadanya berdebar kencang. Debarannya lebih dahsyat dibanding saat dia sakaw. Dia mengucek mata, berharap dia salah lihat, tapi nama yang tertulis sebagai pengirim surat itu memang Ata, adiknya yang bungsu.
Entah mana yang harus dikerjakannya lebih dulu, membaca surat Ata atau menghisap shabu-shabu yang baru saja dibelinya. Dua-duanya dibiarkan menggantung. Dia lebih memilih berbaring di tempat tidur, lalu menatap lekat ke langit-langit. Langit-langit itu akhirnya menjadi layar lamunannya.
Apa yang terjadi di kampung, hingga Ata mengirim surat? Keluarga di kampung pasti sering menghubungi lewat HP, tapi tak pernah aktif karena tergadai lalu terjual demi membeli shabu-shabu. Pikirnya! Belum lagi dia tak pernah menelpon dan setiap ada telepon dari kampung, dia pasti keluar keluyuran, kalaupun ada di rumah, dia tak mau bicara karena takut diinterogasi sama papa tentang kuliahnya yang lebih banyak bolosnya.
Padahal ini baru semester satu. Dilan mengawali kariernya, sebagai mahasiswa baru yang datang jauh dari Ambon menuju Makassar, dengan buruk. Dia tak pernah berpikir jika dia adalah duta orang tuanya. Makassar yang diharapkannya menjadi kota pengabul impian dan cita-citanya, ternyata telah memberinya mimpi dan citra buruk.

Kak Dilan yang jauh…

Sebaris kalimat pembuka itu terhenti. Dia membayangkan Ata, adiknya, saat menulis surat itu, sedang tersenyum dan duduk manis di atas meja belajarnya yang baru dibelikan papanya, saat kenaikan kelas kemarin. Papanya memang sangat pengasih terhadap anak-anaknya. Dilan yang bisa ke Makassar kuliah itu pun, sebagai bukti kasih sayang mama dan papanya. Sayang, kasih sayang itu terhianati.
Ata yakin, Kak Dilan kaget dengan suratku. Pasti tak pernah terbayang sebelumnya jika Ata akan mengirim surat. Sejak Kak Dilan berangkat ke Makassar, banyak sekali yang berubah.

Kak, papa sakit selama dua bulan. Tapi papa dan mama tak mau membebani pikiran Kak Dilan, takut konsentrasi belajarmu terganggu, hingga Kak Dilan tak dikabari. Syukurlah, sekarang sudah sembuh.

Dilan seolah terpukul dengan kalimat surat itu. Dua bulan papanya sakit, tak dikabari agar tidak menganggu konsentrasi belajarnya, padahal selama ini dia tak pernah belajar. Makassar yang jauh gemerlap dari Ambon, digunakan Dilan untuk mengenali setiap jengkal Makassar dengan dugem. Padahal tugasnya bukan itu!.

“Masa bodo!” Pikirnya sambil mencari alat penghisap shabu di laci meja belajarnya. Saat benda yang dicarinya itu telah ditemukan, bukannya langsung mengambil korek untuk kemudian nyabu, tapi malah mematung. Semua karena alat penghisap shabu itu didapatkannya tergeletak di atas foto Ata.
Dilan memang sangat sayang pada Ata, adik satu-satunya. Foto yang kini ditatapnya, pemberian Ata saat hendak berangkat ke Makassar untuk kuliah.
“Jangan lupakan Ata ya, Kak! Kalaupun Ata sering gangguin Kak Dilan, sering malas kalo disuruh, bukan berarti Ata nggak sayang sama Kak Dilan!”
Dilan hanya mengangguk saat itu. Dia kasihan melihat adiknya merengek untuk tetap dirindukan. Selain foto, Ata juga memberinya bagea, kue khas Ambon, yang terbuat dari sagu.
“Bagea ini aku yang bikin lho, Kak!”
Dari sinar matanya saat mengucap kalimaat itu, Dilan tahu kalau Ata membohonginya. Tapi dia tak ingin mengecewakan Ata dengan mengungkap kebohongan itu. Apalagi setahu Dilan, meskipun Ata sudah SLTP kelas satu, mamanya belum membebankan Ata untuk pekerjaan-pekerjaan berat, seperti membuat kue.
Mama dan papanya memang selalu mengedepankan prestasi. Mereka hanya membebankan belajar sebagai tugas utama kepada anak-anaknya. Dilan yang sulung pun jarang membantu papanya di gudang hasil bumi, meskipun itu untuk urusan manajemen ataupun kalkulasi barang yang masuk. Tugas paling berat yang diterima Dilan saat membantu papanya di gudang hanyalah membayarkan gaji karyawan dan buruh.
Dilan sangat beruntung terlahir sebagai anak pengusaha hasil bumi. Hampir seluruh hasil bumi, mulai dari cengkeh, Vanili, kakao, hingga aneka rempah lainnya, dibeli papanya dari petani untuk kemudian diekspor. Jadi, sangatlah wajar jika Dilan bisa menggunakan uang semaunya. Kalaupun HP dan barang-barang berharga lainnya terjual, itu karena Dilan menyalahgunakan uangnya.
Baru sebulan di Makassar dia sudah minta dinaikkan uang kiriman bulanannya, dan papanya tidak berpikir dua kali untuk mengiyakan. Tapi sekali pun Dilan tak pernah berpikir, jika menyalahgunakan uang kirimannya, sama halnya mengkhianati papanya.
Sesal kini menderanya. Perhatiannya kini beralih lagi ke surat Ata yang tadi tak selesai dibaca, lalu dihempaskannya begitu saja.
Kak Dilan percaya kan, bahwa selalu ada kemudahan di balik kesusahan? Ya, sekarang mama dan papa sedang dalam masa sulit. Kalaupun uang kiriman Kak Dilan bertambah, itu karena mama dan papa peras keringat untuk tetap memenuhi kebutuhan Kak Dilan. Dua bulan papa sakit, karyawan yang paling dipercaya papa untuk mengurus usaha, hilang membawa kabur uang. Buruh mogok kerja, karena gajinya ditunda-tunda. Bahkan gudang penyimpanan hasil bumi papa dibakar saat para buruh dan karyawan tersulut emosi.

Tangan Dilan bergetar, dua lembar kertas surat Ata seolah begitu berat hingga terjatuh dari tangannya. Dia ingin teriak sekerasnya, tapi tenaganya yang keluar tersalur di tangannya yang terkepal dan mendaratkannya di tembok kamar.
Bukkk! Bukan hanya sekali, berkali-kali tinjunya mendarat di tembok kamar. Tak perduli kulit arinya terkelupas, hingga berdarah. Seolah dia ingin mati saja! Tapi bukannya bertambah sadar, saat tatapannya tertumpu pada shabu-shabu yang baru dibelinya tadi, dia melepaskan kekesalannya dengan nyabu. Hanya sekali menghirup asapnya, dia kembali meraih surat Ata.

Papa tak punya modal lagi. Dia beralih profesi sebagai nelayan. Berangkat melaut sore hari, pulang saat pagi. Tubuh papa yang dulu kekar, perlahan terkikis angin laut yang dingin. Kak Dilan bisa bayangkan, bagaimana dinginnya laut di tengah malam.
Mama tak hanya mengurus dapur. Dia juga harus menjual ikan tangkapan papa di pasar. Terkadang siang baru pulang dari pasar. Kak Dilan bisa bayangkan bagaimana capeknya mama. Malam dia harus begadang lagi, membuat kue dari singkong, untuk kujajakan di sekolah besoknya.
Aku tak peduli, teman-teman mengejekku sebagai penjual kue. Asal bisa menambah uang mama, untuk kemudian dikirimkan ke Kak Dilan. Untunglah tahun ini, Ata dapat beasiswa, sehingga mama nggak berpikir lagi tentang uang sekolahku. Kakak nggak malu kan punya papa nelayan, mama penjual ikan, dan aku penjual kue? Asal Kak Dilan bisa kuliah! Begitu kata mama dan papa.
Jangan kecewakan kami ya, Kak!

Dilan menangis kini. Alat penghisap shabu-shabu yang terbuat dari kaca, dihempaskannya ke lantai kamar hingga berserakan. Dia benci pada dirinya sendiri yang menyalahgunakan kebebasan yang diberikan oleh papanya. Dia ingat sekali, saat hendak ke Makassar, papanya memperingatkan dia untuk menjaga diri. “Di Makassar, nggak ada lagi mama dan papa yang perhatikan kamu. Kamu bebas! Tapi bukan berarti kamu bertindak semaumu. Uang, berapa pun akan habis, papa memberimu ijin kuliah di Makassar bukan karena uang yang papa miliki, tapi karena papa percaya kamu bisa jaga diri. Tanpa mama dan papa bukan berarti kamu mendapat kebebasan, tapi tanggung jawab!”
Sadar diri dia bisa gila bahkan terbunuh sesal bila tak meminta maaf pada mama dan papanya, dia memutuskan untuk pulang ke Ambon. Dia tak perduli kuliahnya sebentar lagi final test. Dia hanya peduli pada kerinduan yang tiba-tiba menyerangnya.
***
Matahari pagi tersenyum menerima kehadiran Dilan kembali di tanah kelahirannya. Dia tak memutuskan untuk langsung pulang ke rumah, tapi ke tempat pelelangan ikan untuk menemui papanya yang baru pulang melaut. Seperti apapun papanya, dia tak akan pernah malu memilikinya. Bahkan semakin bangga karena telah berjuang untuk masa depannya.
Tapi di pelelangan ikan, papanya tak ada di antara sosok-sosok nelayan yang pulang melaut. Mungkin sudah pulang ke rumah. Pikirnya. Dia lalu melarikan langkahnya ke pasar untuk mencari mamanya yang sedang menjual ikan. Juga tak ada!
Berbagai pikiran membawanya ke prasangka buruk. Dia takut papanya sakit lagi, hingga tak bisa melaut. Dengan langkah setengah berlari, dia meninggalkan pasar. Beberapa orang yang memanggilnya, tak dihiraukan. Rindu pada mama dan papanya, juga pada Ata semakin tak terbendung.
Tiba di rumah, entah harus tetap meruahkan tangis yang dari tadi dibendungnya, atau malah memarahi Ata yang kini merengek di lengannya. Tak ada yang berubah sejak dia meninggalkan Ambon. Gudang hasil bumi milik papanya, yang kebetulan bersebelahan dengan rumah tinggalnya, masih berjalan lancar bahkan semakin pesat. Terbukti dengan bertambahnya mobil truk dua belas roda parkir di halaman.
“Ata rindu sekali, Kak. Ata nggak tahu bagaimana caranya memanggil Kak Dilan pulang, jadi Ata kirim surat bohongan itu!”. Dilan masih termenung. Senyum mama dan papanya yang menyambut kedatangannya, enggan dibalasnya. Dia merasa berdosa dan tak pantas menerima senyum itu. Saat papanya melabuhkan tubuhnya dalam pelukan pun, Dilan masih mematung. Apa yang ditulis Dilan dalam suratnya memang bohongan, tapi bukan tak mungkin kenyataan yang lebih buruk dari itu, bisa saja menimpanya. Dia tak ingin sesal itu mempermainkannya dua kali. Dia berjanji untuk dirinya sendiri, tak akan mengulangi lagi kebiasaan buruknya.
“Bawa oleh-oleh apa, Kak?”
Dilan seolah tak mendengar kalimat Ata. Bahkan tasnya yang terlepas dari tangannya karena diambil oleh Ata, tak membuatnya terjaga dari sesal yang kini menderanya. Dia bahagia sekali, masih bisa berkumpul dengan orang-orang yang dicintainya, tanpa perubahan seperti yang diceritakan Ata dalam suratnya.
“Kak, ini apa sih?”
Kali ini dia terjaga. Bukan karena suara Ata yang mengeras, tapi karena pandangan papanya yang menajam ke arah Ata. Saat menoleh, Dilan ikut menancapkan tatapan di plastik kecil yang sedang dipegang Ata. Entah bagaimana caranya, saat bergegas pulang kemarin, sisa shabu-shabu yang tak dihabiskannya, bisa berada dalam tasnya.
Ata merengek untuk tahu nama barang terlarang itu, sementara papanya yang mengenal barang itu, kehilangan senyum. Kecewa tiba-tiba terbias dari tatapannya yang tadi penuh rindu. Lelaki yang dirindukannya itu, berbalik darinya.
“Maafkan Dilan, Pa! Dilan janji nggak akan mengulanginya lagi!”
Papanya bergeming. Bahkan menepis tangan Dilan yang berpegang di lengannya. Ata dan mamanya hanya memandang heran karena belum mengerti kejadian yang sebenarnya.
Besoknya papanya sakit. Tak mau bicara, juga malas makan. Dilan takut, apa yang dituliskan Ata dalam suratnya, akan benar-benar terjadi. Dia semakin menangis!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar